Feeds:
Pos
Komentar

Archive for Januari, 2009

Resep Coto Makassar

Menyebut nama Makassar, yang teringat pasti masakan tang satu ini “Coto Makassar”, makanan Khas Kota Anging Mamiri.

Berikut ini ada satu resep dasar memasak coto Makassar. Anda bisa juga memvariasikannya sesuai dengan selera anda. Selamat Mencoba.

Coto Makassar (porsi 8 orang)

Bahan:

500 gram daging sapi, bagian sengkel (yang empuk itu, bilang aja ama abang2 di pasar, pasti pada tau..)
500 gram babat, rebus matang
300 gram hati sapi, rebus matang
200 gram jantung sapi, rebus matang


5 batang serai memarkan


4 sm lengkuas memarkan


2 cm jahe memarkan


5 lembar daun salam


250 gram kacang tanah, goreng haluskan
2,5 liter air cuci beras/tajin
1 sdm bumbu kaldu bubuk rasa sapi
6 sdm minyak sayur

Haluskan :
10 siung bawang putih

8 butir kemiri sangrai

1 sdm ketumbar sangrai

1 sdt jintan sangrai

1 sdt garam dan 1 sdt merica butiran

Pelengkap:
bawang goreng
irisan daun bawang
irisan seledri

Sambal tauco:
– Haluskan 10 buah bawang merah, 5 siung bawang putih, 10 buah cabai
keriting yang direbus sebentar.
– 100 gram tauco yang ditumis dengan 6 sdm minyak goreng hingga
matang, tambah garam dan gula merah secukupnya. Campur sama
bahan yang udah dihaluskan barusan.

Cara membuat:
1. Kalo pake babat atau hati, rebus terpisah hingga lunak, angkat,
tiriskan, potong dadu.
2. Rebus daging sapi bersama air tajin, serai, lengkuas, jahe, dan daun
salam. Setelah matang angkat, tiriskan, potong dadu.
3. Panasin minyak, tumis bumbu yang dihaluskan hingga harum,
masukkan ke dalam kaldu,tambahkan kacang tanah goreng, didihkan.

Penyajian:
Siapkan mangkuk, isi dengan daging dan ati dan babat dan juga paru yg dari toples tadi. Taburi bawang goreng (enaknya banyak2), irisan daun bawang dan seledri, sajikan dengan ketupat dan sambal taoco.

Sajikan hangat.

PS: Tambahin kecap, garam, dan jeruk nipis jika perlu.

Read Full Post »

Coto Makassar

Coto Makassar atau Coto Mangkasara merupakan makanan tradisional Makassar, Sulawesi Selatan. Makanan ini dibuat dari jeroan (isi perut) sapi yang direbus dalam waktu yang lama atau daging maupun hati.

Rebusan jeroan bercampur daging sapi ini kemudian diiris-iris lalu dibumbui dengan bumbu yang diracik secara khusus. Coto dihidangkan dalam mangkuk dan dimakan dengan ketupat, buras maupun nasi putih.

Saat ini Coto Makassar sudah menyebar ke berbagai daerah di Indonesia, mulai di warung pinggir jalan hingga restoran. Bahkan Coto Makassar telah menjadi salah satu menu pada penerbangan domestik Garuda Indonesia dari dan ke Makassar.

Coto Makassar memiliki banyak jenis ataupun ciri khas, tergantung pengasuhnya. Hampir setiap warung coto dilengkapi dengan nama pengasuhnya. Dan setiap watung coto memiliki siri khas tersendiri. sehingga aroma dan rasanya agak berbeda antara warung yang satu dengan yang lainnya.

Tataboga yang sangat tinggi
walaupun tergolong sebagai makanan rakyat biasa hidangan Coto Makassar, tergolong sebagai hidangan yang memiliki latar belakang seni ketata bogaan yang sangat tinggi. Umumnya suatu hidangan itu terangkat apabila tersaji dikalangan istana, seperti yang terjadi dalam sejarah tata boga di Eropa, yang dianggap sebagai pusat budaya ketata bogaan maupun di Cina yang telah memiliki peradaban yang tinggi jauh sebelum tariq Masehi.

Arus perdagangan yang terpusat di Somba Opu pada tahun 1538 dan berjayanya Bandar Makassar dari tahun 1556 hingga kini sangatlah berpengaruh pada pola kehidupan masyarakat. Demikian pula berpengaruh pada pola dan seni ketata bogaan, antara lain pada Coto Makassar.

Hal ini dapat dilihat bahwa pada penyajian hidangan coto Makassar, akan dibarengi dengan sambal tao-co yang merupakan bagian dari ketata bogaan Cina yang mempengaruhi budaya ketata bogaan Makassar.

Hidangan coto ini, yang dalam ketata-bogaan modern digolongkan sebagai hidangan sup, tidak berbeda jauh dengan sejarah sup di Eropah, yang mana “lahir” pada era sebelum revolusi industri di Inggris.

Di Eropa, orang memakan sup itu dengan roti sebagai pengganjal perut dimalam hari, yang kemudian dalam ilmu tata saji dikenal sebagai “supper” yang berasal dari kata soup. Sedangkan Coto Makassar diciptakan oleh rakyat jelata dan dimakan dengan ketupat atau buras oleh para pengawal dan mereka yang begadang, menikmati hidangan sup ini sebagai pengisi perut disubuh hari, sehingga aktivitas mereka dipagi hari akan dapat dilaksanakan dengan baik. .

Tertua di Nusantara
Coto Makassar “lahir” dalam kuali tanah yang disebut: korong butta atau uring butta dan dengan rampah patang pulo (40 macam rempah) antara lain terdiri dari :kacang, kemiri, cengkeh, pala, foeli, sere yang ditumbuk halus, lengkuas, merica, bawang merah, bawang putih, jintan, ketumbar merah, ketumbar putih, jahe, laos, daun jeruk purut, daun salam, daun kunyit, daun bawang, daun seldri, daun prei, lombok merah, lombok hijau, gula talla, asam, kayu manis, garam, papaya muda untuk melembutkan daging, dan kapur untuk membersihkan jerohan.

Cara mengelola coto Makassar ini merupakan bukti nyata bahwa seni ketata bogaan dari Sulawesi Selatan in sangatlah tinggi. Bumbu dan rempah yang begitu banyak tidak saja berfungsi sebagai penyedap hidangan ini, akan tetapi juga sebagai pengimbang dan penawar zat zat yang kurang baik yang terdapat dalam bahan yang dipergunakan seperti hati, babat, jantung, limpah dsb. yang sarat dengan cholesterol misalnya sehingga makanan ini menjadi sehat.

Kemungkinan besar, sop dari Makassar ini dibawa oleh para pelaut kedaerah tujuan pelayarannya ke Jawa dan Kalaimantan, sehingga tidaklah mengherankan apabila didaerah tersebut juga terdapat hidangan yang sejenis yang memperoleh nama yang mirip dengan dengan coto makassar a.l. soto seperti soto babat dari Madura, soto Tegal, soto Betawi, yang dibuat dari bahan dasar yang hampir sama dengan coto Makassar ini, namun dalam pengelolaannya sudah mempergunakan peralatan yang lebih “modern” yaitu “panci soto” yang khas. Dari bentuk panci ini juga merupakan suatu bukti bahwa coto Makassar itu “lebih tua” dari pada soto di persada Nusantara ini.

Jenis coto
Di Sulsel dikenal berbagai macam jenis coto selain coto makassar. tergantung jenis dagingnya. Coto Makassar umumnya menggunakan daging sapi. Didaerah Gowa dan Takalar serta daerah lain bisanya menggunakan daging kerbau. Dijeneponto menggunakan daging Kuda sehingga dikenal dengan coto kuda. Namun ada juga menggunakan daging kambing.

Warungnya Mudah ditemukan
Menemukan warung coto tidaklah sulit di kota Makassar. Di jalan besar, kawasan pertokoan, kawasan perumahan, pasar, bahkan di gang-gang kecil pun banyak warung yang menjajakan makanan khas kota daeng ini.

Warung coto Makassar, tidak hanya terdapat di kota Makassar saja, tetapi juga hampir di seluruh daerah Sulsel, bahkan di luar Sulsel, seperti di Jakarta, Surabaya, dan kota-kota lainnya di nusantara. Namun tetap saja bagi sebagian warga lokal yang pernah mencicipi coto di kota selain Makassar tetap merasa kurang berasa jika bukan orang asli Makassar yang memasaknya.

Makanan khas kota Anging Mammiri ini sangat dicintai oleh warga lokal sendiri. Bahkan banyak wisatawan ataupun pendatang mencari makanan ini. Ada juga istilah yang dikenal di kalangan warga lokal yang dapat merepresentasikan hal itu;. “Garring coto” . Dalam bahasa Makassar, kata garing berarti sakit . Nah, jika seseorang yang sedang ingin makan coto, mereka biasanya disebut “garing coto”.

Read Full Post »

Air Mata Lapindo

Air Mata Lapindo
Saturday, 24 January 2009
Oleh :Noviana Herliyanti

Aku mengelap peluh yang menetes di sekujur wajahku. Tenggorokanku terasa sangat kering.Ingin sekali aku merogoh lembaran uang ribuan yang terselip di saku biar membeli segelas Aqua. Namun niat itu urung seketika aku ingat batuk ayah yang kian parah. Ayah butuh obat lagi. Sementara obat-obat yang tinggal sedikit lagi, belum ditebus.Hari ini aku merasa payah.Koran jatahku hari ini belum laku semua.Hidup memang penuh dengan perjuangan.

SESOSOK anak remaja seusiaku di dalam sebuah mobil bercengkerama dengan seorang laki-laki. Aku yakin itu pasti ayahnya. Selintas bayangan itu hadir begitu saja. Tawa Nanik, adikku, terdengar renyah di tengah kemacetan lalu lintas dan terus berceloteh di belakang ayah yang menyetir. Dan aku yang tak peduli karena konsentrasi terpaku pada tugas PR matematika.

Ayahku adalah salah seorang karyawan berprestasi di kantornya, sebuah perusahaan swasta di Sidoarjo. Ibuku,kepala rumah tangga tulen.Bisa dikatakan, kami keluarga bahagia.Ya, itu dulu sebelum Lapindo membenamkan kebahagiaan mimpi-mimpiku.

Sebuah petaka di malam yang indah saat semua terhanyut mimpi, tiba-tiba sebuah guncangan dahsyat yang tak lama kemudian disusul dengan sebuah ledakan yang berasal dari daerah Siring bagian Timur.

Teriakan,jeritan,dan tangisan serentak menyeruak dari berbagai sumber.Aku masih tak bisa berbuat apa-apa saat ibu menuntunku dan ayah menggendong Nanik berlari dan berlari,menyusul orang-orang yang telah mendahului kami.Aku tak mampu berpikir dan mencerna apa yang sebenarnya telah terjadi.Yang aku tahu, kehebohan terjadi di mana-mana.

Tanpa terasa cekungan mataku penuh butir-butir bening dan meluap membasahi bibirku. Namun aku segera menyadari.Aku tak boleh larut dalam kesedihan ini.Aku harus tegar karena aku bukanlah satu-satunya korban keusilan tangan manusia.Aku beranjak menghampiri pengendara di lampu merah.Koran di tanganku yang masih tinggal separuh, aku tawarkan pada beberapa pengendara. ***

”UhukÖuhukÖuhuk!”Batuk bapak semakin parah dan tidak menunjukkan tanda-tanda akan sembuh. Aku tak tahu harus berbuat apalagi, tak sepeser pun uang di tanganku. Uang yang tadi hasil jualan Koran, hanya cukup membeli dua bungkus nasi.Aku menatap ibu dan Nanik sendu bahkan untuk tinggal pun kami terpaksa menempati rumah yang hampir rusak di pinggir jalan sisa semburan lumpur.

Dan akan selalu kuyup saat musim hujan tiba. Ibu beranjak pergi. Ibu pasti pingin mencari pinjaman lagi. Walau sebenarnya aku tak tega membiarkannya pergi sendiri, tapi apa yang bisa aku perbuat? Aku tak tega meninggalkan ayah dengan suara batuknya yang kian menyayat dan Nanik yang hanya bisa menangis.Aku ingin sekali berteriak, atas dasar apa Tuhan memberiku cobaan sebesar ini.

Tapi, aku tak ingin memperkeruh keadaan. Aku laki-laki, aku tak boleh menangis.Aku harus tangguh seperti yang ayah inginkan selalu.Betapa pun lemahnya laki-laki di hadapanku ini, tak mengurangi hormatku padanya. Ayah adalah laki-laki sejati. Dia tak pernah menyerah untuk berjuang meski aku tahu ayah berasal dari keluarga yang sangat mapan.Namun tak pernah membuatnya minder untuk memulai dari awal.

Bahkan setelah peristiwa naas itu ayah tetap berusaha untuk mempertahankan hidup kami. Tapi, apalah artinya usaha ayah tanpa selembar ijazah, karena ayah tak mempunyai keterampilan lain selain berkutat dengan administrasi di perusahaan.Tak mungkin ayah mengadu pada kakek dan nenek di Jakarta. Sebab, sejak ayah memutuskan menikahi ibu yang yatim piatu, nama ayah telah tercoret dalam silsilah keluarga.

Mungkin karena persoalan keluarga yang dihadapinya dan ditambah bencana lumpur yang menimpa rumah,tubuh ayah jadi lemah dan jatuh sakit dan semakin parah. Sementara ibu, tak banyak yang bisa ia lakukan. Ia hanya bisa memungut sesuatu yang bisa dijual,namun tetaplah tak mencukupi karena masyarakat Indonesia mayoritas penduduk lemah ekonomi. Lengkaplah sudah penderitaan keluargaku.Aku benci,marah,entah pada siapa.

Akankah aku harus menyalahkan Tuhan yang telah menggariskan kenyataan ini? Tapi, aku tak ingin melukai hati kedua orangtuaku yang telah mendidikku dengan pengertian iman sejak kecil. Ibu datang dengan air mata, tanpa kata-kata.Aku langsung mengetahui bahwa ibu gagal meminjam uang.Aku harus pergi untuk mendapatkan uang buat ayah berobat.

Aku harus pergi, karena aku laki-laki yang tangguh dan tak boleh menyerah begitu saja.Tapi, ayah menggenggam tanganku erat. ”Kau tak boleh ke mana-mana Nak. UhukÖhukÖhukÖtemani ayah di sini, uhukÖuhukÖ uhuk.” Kelihatan ia semakin lemah dan sakitnya bertambah parah. Aku menyodorkan segelas air untuk ayah.

”Maafkan aku ayah.Hanya segelas air yang bisa aku berikan untukmu.” Ayah tersenyum, senyum yang tak pernah lekang dari bibirnya, dalam keadaan sulit apa pun.Tapi, senyumnya kali ini tampak seperti dipaksakan. Ia kelihatan benar-benar menderita. ”Nak Farhan,kamu harus bisa menjaga adik dan ibu, Nak.Kamu adalah lelaki kebanggaan ayah dan ibu. Farhan harus berjuang untuk menjadi lelaki yang tangguh. Kita tidak boleh menyerah pada nasib.” Pesannya itu bagai sembilu yang menyayat hatiku. Firasatku lain, sesuatu yang buruk menimpa keluargaku.

”Ayah, aku tak mampu menahan getirnya hidup ini. Aku bukanlah lelaki yang tangguh seperti ayah,”balasku. Nanik sesenggukan di pangkuan Ibu.Ayah mengelus rambutnya lembut. Ayah beralih dan menggenggam tanganku lagi erat-erat.”Ayah tak bisa mewariskan harta pada kalian kecuali iman dan taqwa yang telah ayah tanamkan di jiwa kalian.

Kalian harus berjuang bersama. Berjanjilah untuk menjaga adik dan ibu”. Aku mengangguk.Andai aku bisa menolak aku tak ingin mengatakannya, karena aku tak ingin ayah meninggalkan kami semua.Ayah kembali tersenyum, kulihat binar di matanya dan menghembuskan nafasnya.

”Lailaha illallah Muhammadar- Rasulullah.”Aku hanya bisa berteriak saat genggaman ayah terkulai di tanganku.”Ayaaaaaaaahhhhh Ö. Teriakan kami beradu dengan air yang mengguyur bumi.Aku semakin benci pada takdir yang telah menggariskan ini semua kepadaku.Aku mengantarkan ayah dengan duka yang mendayu.Aku sungguh tak ingin ayah pergi.Aku tak ingin ditinggalkan.Tapi batinku berkata, aku tak boleh larut dengan penderitaan ini.Ayah tak suka ini. Yang ayah inginkan aku harus menjaga adik dan ibu. ***

Dengan berbekal hasil penjualan cincin pernikahan ibu, kami meninggalkan tempat yang telah menggoreskan luka.Tak ada yang bisa diharapkan dari ganti rugi rumah kami.Aku tak mau berurusan dengan orangorang yang telah mengukir luka di sekujur kehidupan kami. Kami menempati sepetak rumah yang sebenarnya kurang layak untuk disebut tempat tinggal, di sebuah daerah Wonokromo.

Tapi, hanya ini yang terjangkau. Dengan berbekal keyakinan dan semangat aku harus berjuang untuk memenuhi tuntutan hidup. Barangkali Surabaya lebih ramah pada kami. Tak pernah terlintas dalam benakku untuk menjadi pengamen.Tapi,kini di sinilah aku berada. Di tempat ini aku telah mendapatkan teman seperjuangan, Didit namanya. Tapi, kami beda profesi.Aku pengamen tulen dan Didit pengamen campuran antara ngamen baik-baik dan memaksa.

” Apakah kau tak takut dosa?” suatu kali aku bertanya pada Didit. Dia tersenyum kecut. ”Dosa? Dosa hanya milik orangorang yang beruang tapi pelit, orangorang yang telah merampas harta kita dengan jalan damai.” Didit mengacungkan telunjuknya, entah apa maksudnya. Aku hanya menghela nafas pendek.Tak mudah untuk mengubah pengertian dosa bagi orang-orang seperti kami. Dan aku menolak saat Didit menyodorkan sebungkus roti.

”Tenang aja,dosanya biar aku yang nanggung,”ia meyakinkan aku. Tapi, aku tetap menggeleng. Setidaknya aku tak ingin ikut bersama iblis, meski hidup seperti ini takkan pernah terhindar darinya. Suatu hari aku tak kuasa menolak ajakan Didit untuk mencopet di pasar.Usaha kami sukses karena tidak ada mata yang mengawasi aksi kami.Namun tindakan saya itu membuat ibu marah padaku.

”Keluar kau! Aku tak ingin punya anak pencuri seperti kamu,” ibu berteriak marah ketika tahu apa yang telah aku lakukan. ”Tapi Bu, kita butuh uang untuk adik berobat,”aku berdalih. ”Nanik takkan sembuh dengan uang haram itu. Jangan pernah kembali ke rumah ini sebelum kamu mengembalikan uang haram itu dan minta maaf.” Aku lalu mengembalikannya dan bertekad tidak akan pernah mengulanginya. ***

Perabotan rumah berantakan, ibu memeluk Nanik sambil menangis. Pasti Pak Andri ke sini menagih uang kontrakan yang tertunggak tiga bulan. Entah pekerjaan apa lagi yang harus aku lakukan. Hingga suatu hari Didit menawariku menjadi pedagang asongan di taman bungkul.

”Kacang-kacang, permen-permen, rokoknya Pak,” aku menawarkan dagangan di tengah hiruk-pikuk pengunjung. Syukurlah,aku membawa lumayan uang ke rumah setelah seharian mondar-mandir. Aku merasa sangat bangga dengan hasil jerih payahku.Di rumah aku mendapati Nanik tidur seorang diri. Ibu tidak ada di rumah. Untuk menanyakan ibu, aku tak tega membangunkan adik.Aku ingin menunggu saja.

Tapi, mata ini tak kuasa menahan kantuk.Aku terbangun saat mendengar suara pintu berderit. ”Ibu dari mana?” tanyaku sambil mengucek mata. ”Ibu dari warungnya Bu Mina, tadi diajak mencuci piring.” Seperti biasa, ibu bekerja pada malam hari di warung Bu Mina,meski tak tega meninggalkan Nanik sendirian.(*)

Noviana Herliyanti
Adalah cerpenis asal Madura, alumnus PP An-Nuqayah, Guluk-guluk, Sumenep. Saat ini aktif sebagai anggota Forum Komunikasi Penulis & Penerbit Pesantren (FKP3) Jawa Timur. Tulisannya dimuat di berbagai media massa.

Read Full Post »

UNIVERSITAS Indonesia (UI) menyediakan beasiswa untuk seribu anak bangsa yang berupa pembebasan uang pangkal dan pembayaran biaya operasional pendidikan minimal Rp100.000 per semester pada tahun pertama.

Pengajuan permohonan dilakukan secara kolektif oleh sekolah masing-masing dengan mengirimkan formulir yang telah diisi dan dilengkapi dengan berkas-berkas berikut ini:

1.Tulisan yang dibuat oleh pemohon mengenai deskripsi diri,cita-cita,dan motivasi melanjutkan studi di UI.

2.Surat permohonan dari orangtua/wali mengenai alasan pengajuan beasiswa.

3.Surat keterangan tidak mampu dari RT/RW oleh lurah/ kepala desa setempat. Diutamakan yang memiliki kartu Gakin.

4. Slip gaji orangtua/wali yang bekerja di sektor formal, atau surat keterangan penghasilan total dari RT/RW yang diketahui lurah/kepala desa setempat, bagi yang bekerja di sektor informal.

5.Fotokopi rekening listrik rumah atau tempat tinggal orangtua/wali dan rekening telepon tiga bulan terakhir.

6.Fotokopi kartu keluarga dan KTP orangtua/wali yang masih berlaku.

7.Surat pernyataan dari tiga tetangga terdekat yang menjelaskan kondisi ekonomi keluarga siswa.

8.Surat keterangan dari kepala sekolah asal siswa yang menjelaskan prestasi siswa di SMU,ketidakmampuan ekonomi,keaktifan siswa,dan bahwa siswa akan mendaftar di UI.

9.Fotokopi sertifikat prestasi di bidang akademik dan nonakademik selama terdaftar di SMU.

Berkas diajukan ke Rektor UP Direktur Kemahasiswaan UI,gedung Pusat Pelayanan Mahasiswa Terpadu, Kampus UI Depok,Po Box SERIBU Anak Bangsa,DP UI 16424,Depok. Penerimaan berkas paling lambat 30 Januari 2009 cap pos.Pengumuman penerima beasiswa bisa dilihat di web UI tanggal 16 Maret 2009. Formulir dapat diunduh di http://mahasiswa.ui.edu.

Read Full Post »

Lakon Mak dan Ayah

Adalah Bu Baedah yang memberi tugas menulis cerita tentang keluarga, sebab itu Cut Ida resah dibuatnya.Teman-teman ramai bersorak sila menyobek kertas di halaman belakang buku, menulis nama di pojok atas,duduk termenung sambil memikir.

Sebagian juga langsung menulis terilham cepat. Cut Ida pandang Fatimah menulis saksama,ketika Cut Ida tanya apa yang ia tulis.Ia bilang sedang menulis tentang Mak.Maknya penjual kangkung di kota. Juga Cut Ida tanya sama Ramli,ia anak paling nakal di kelas Cut Ida.

Bajunya tak pernah bersih ada saja diperbuat sewaktu jam main-main. Ramli menulis tentang ayahnya penarik becak. Siti lain lagi. Ia menulis tentang Mak dan ayahnya sekaligus. Sungguh mudah hati mereka bercerita. Sesekali bergantian membaca, ada yang terkikik seperti kuntilanak ketika membaca cerita.

Ada yang mengejek sambil berkata, tulisan kamu jelek.Kelas riuh sekali. Bu Baedah diam dan senyum- senyum saja. Tepuk Siti membuat Cut Ida terkejut lalu. Ia tanya, cerita apa yang kamu tulis? Cut Ida diam kala itu. Siti menarik kertas dan melihatnya, ”Cut Ida belum menulis?” Bocah berkepang dua itu menggeleng malu.

Kejap pintas Siti berpindah pergi sila berbisik ke teman-teman lain.Cut Ida dibuat malu olehnya. Cut Ida merasa sulit bercerita.Tak tahu menulis tentang siapa, tentang Mak? Ayah? Dek Bit? Semuanya tak menarik. Cut Ida hanya bisa diam di pojok kelas menunggu bel pulang berdering.Jika siang diberi tugas lalu tak siap,biasanya menjadi PR.

Nyata benar pikirannya, saat bel pulang berbunyi ramai tak bersiap tugas. Bu Baedah menyuruh mereka mengumpul tugas esok pagi. Sesaat lega batin Cut Ida,namun sekejap pula pusing itu datang lagi. Tiba di rumah ia tak bisa memikir sebab Mak dan Ayah kerap ribut.Ada saja dilempar ketika marah.

Kemarin Mak melempar gelas ke dinding. Bunyinya teramat keras hingga berdengung telinga.Dek Bit seperti biasa memeluk Cut Ida kuat.Tubuhnya yang besar tak kuasa Cut Ida menggendong lama. Ia menangis keras lepas itu,mereka berdua lantas hanya meringkuk lama di kamar. Mak dan Ayah masih bertengkar.

Kata Ayah, Mak perempuan lacur. Kata yang tak pernah tahu maknanya oleh Cut Ida.Berulang-ulang Ayah memekik itu, berkali-kali pula Mak kalap. Cut Ida hanya bisa menutup telinga Dek Bit hingga bocah kecil itu tak mampu mendengar. Suara piring pecah menyilang dalam tengkaran Mak Ayah.

Cut Ida dan Dek Bit semakin takut ketika mendengar suara Mak meraung kesakitan, sepertinya Ayah menampar ulang Mak. Saban hari mereka ribut.Kerap Cut Ida malu dengan teman-teman. Mereka sering mengejek Cut Ida jika main di tanah lapang. ”Mak dan Ayah, karue saja!” Berulang- ulang mereka bercakap seperti itu hingga panas telinga ini.

Cut Ida membaringkan Dek Bit di kasur. Kalau sudah seperti ini Dek Bit enggan tidur bersama Mak Ayah. Ia lebih memilih tidur dengan Cut Ida di kamar belakang.Dek Bit masih terlalu kecil,ia belum bisa berjalan.Masih merangkak sambil berceloteh tak jelas. Selepas membaringkan Dek Bit, Cut Ida mengambil buku dan pensil lantas duduk rapi di depan meja belajar.

Ingatan Cut Ida kembali ke tugas Bu Baedah.Menulis tentang keluarga. Namun sepanjang ia duduk, Cut Ida masih galau harus menulis tentang siapa. Cut Ida tak tertarik menceritakan Dek Bit yang masih terlalu dini.Tingkahnya hampir sama dengan yang lainnya. Jika Cut Ida menulis tentang Dek Bit, pasti teman-teman mengira Cut Ida menyontek.

Di kelasnya ada sekitar lima anak yang punya adik baru. Mungkin pula mereka menulis cerita sama. Cut Ida tak suka dibilang menyontek, terlebih jika Mala mengejeknya. Suaranya yang besar bisa terdengar semua anak di sekolah.Untuk itu, Cut Ida memilih enggan menceritakan Dek Bit.

Cut Ida ingin sekali menceritakan Nek Balah.Nenek tua penjual sayur di keudee Bang Bulah.Kulitnya keriput, rambutnya putih semua,jika berjalan harus memegang tongkat.Tapi ia masih kuat. Menarik jika Cut Ida menceritakannya. Tapi apa Bu Baedah mau terima karangan Cut Ida? Sebab Nek Balah bukan neneknya? Cut Ida semakin pusing. Dek Bit sudah terlelap.

Suara tengkaran Mak dan Ayah sesekali terdengar namun tak terlalu keras lagi.Walau seperti itu Cut Ida masih sukar menulis cerita. Apa ia harus menulis tentang amarah Mak dan Ayah saban malam? Piring dan gelas yang pecah? Makian? Marahan? Itu tak menarik baginya.

Cut Ida tak ingin nanti teman-teman menertawai. Mereka tak punya Mak dan Ayah yang selalu bertengkar.Mereka semua pasti menceritakan tentang Mak yang baik hati, selalu mengajar mereka mengaji, membeli makanan, tak pernah keluar rumah malam hari,tak pernah memaki,yang selalu mencium kening anaknya jika ingin pergi.

Begitu juga dengan Ayah mereka yang selalu memberi uang jajan yang banyak, tak pernah menampar Mak, mengantar ke sekolah. Pasti temanteman kelas menceritakan hal-hal seperti itu. Cut Ida tak ingin beda seorang diri. Buku itu masih kosong, belum ada garisan pensil.

Cut Ida masih galau menulis apa. Ingin sekali bercerita bohong tentang Mak dan Ayah, tapi baginya itu sama saja sebab temanteman Cut Ida banyak tahu perkara Mak dan Ayah. Di luar Mak dan Ayah ribut lagi.Cut Ida menutup kedua telinganya berusaha tak mendengar.Diliriknya jam menjelang pukul 23.00 WIB.

Cut Ida ingin semuanya membaik segera.Doa kerap dipinta dalam ujung salat.Ia ingin sekali punya Mak seperti Mak Fatimah yang selalu mengantar Fatimah pulang, ingin punya Ayah seperti Ayah Ramli yang selalu memberi jajan yang banyak.Perasaannya menggebu-gebu menginginkan itu.

Cut Ida tak punya saudara dekat, kedua nenek-kakeknya telah meninggal, ia hanya punya Dek Bit yang tak mampu menampung kesedihannya. Kerap tak kuasa membendung tangis, ia membariskan seluruh keinginannya; ingin melihat Mak dan Ayah tak saling memukul,ingin tak ada lagi makian, tak ingin lagi mendengar piring gelas pecah.

Ingin Dek Bit tidur kembali dengan Mak sebab selama ini Cut Ida kesempitan di atas kasur.Tak mau lagi mendengar tanya tetangga, ”Pakeun Mak ngon Ayah kah,Cut Ida?” Ia ingin semua itu hilang dari hidup dan pergi sejauh mungkin.Hingga tersadar lalu pintas buku Cut Ida telah berbaris sekelumit kisah.

Lepas itu lega batinnya mengetahui tugas Bu Baedah telah selesai. Walau sadar karangannya tak akan sama dengan yang lain. Ia tersenyum kecut ketika hendak menutup buku, namun seraut kemudian tengkaran Mak dan Ayah terdengar semakin hebat.Mak memekik, Ayah berkata-kata keras.

Entah barang apa lagi yang dilempar.Bunyinya sangat gaduh.Suara gesekan dan hentakan kaki saling menyilang dengan gedoran pintu. Sesekali suaranya lenyap sulit ditangkap Cut Ida. Cut Ida semakin risau, perlahan ia menuju pintu dan mengintip lewat celah sempit dari pintu terkuak sengaja.

Mak menangis kuat hingga terisak tubuhnya. Raut Ayah murka. Berulang-ulang mengatai Mak lacur sira berkacak pinggang. Mak berontak berlalu ke kamar dari hadapan Ayah. Gedoran pintu dipukul kuat.Sejenak Cut Ida melirik Dek Bit bersiaga jika ia terbangun. Ketika memastikan Dek Bit masih terlelap Cut Ida kembali menyimak tengkaran Mak Ayah.

Batinnya nelangsa, apa Allah tak mendengar doanya dalam sujud salat? Kali ini dadanya tersentak. Dalam sembab mata Mak keluar dari kamar dengan membawa tas besar. Jaket tebal dierat rapat. Beberapa tas kecil dijinjingnya. ”Mak ke mana?” keluar bocah itu dari kamar. Suaranya bernada parau menahan tangis.

Mak memeluk Cut Ida erat.Tubuh mereka berdua berguncang hebat, ”Mak pergi sebentar saja, Cut Ida dengan Ayah ya?Mak sayang…” ”Istri tak tau di untung! Mau pergi ke mana kamu,ngeh! Mau ke mana?!!” Ayah mengcengkram dagu Mak. Cut Ida mundur beberapa langkah ketakutan. Tangisnya kini membuncah.

”Peu urusan kah!!”sahut Mak keras sambil melepas cengkeraman itu dan berlalu mengambil tas besar.Jalannya tergopoh-gopoh.Lalu membuka pintu dan larut dalam kegelapan. Mereka tak sempat beradu pandang. Mak juga tak mencium kening Cut Ida.Bergegas dikejarnya ke pintu depan, hanya malam menyambut Cut Ida.Mak tak ada lagi di luar sana.

* * * Pagi ini Bu Baedah masuk tepat waktu.Teman-teman kelas Cut Ida telah siap dengan karangannya masingmasing. Mereka bertukar gurau di bangku belakang. Cut Ida diam saja, hanya sembab mata pertanda ia menangis keras semalam. ”Ya, sekarang seperti janji kita kemarin,kumpul tugas mengarang…” ujar Bu Baedah di depan kelas. Bergegas suasana berubah gaduh.

Bunyi meja dan kursi digeser berpadu dengan teriakan teman-teman sekelas. Cut Ida membuka tas dan mengambil secarik kertas berisi ceritanya. Sejenak ia membaca ulang. Dadanya sesak tak karuan, tangisnya ingin pecah ketika membaca karangan itu.

Diyakini keinginannya tak akan terwujud. Mak pergi dan belum pulang hingga pagi ini. Hingga kejap kemudian ia dirasuk penyesalan. Jika tahu seperti ini alangkah baiknya menulis tentang Dek Bit saja. ”Ayo, siapa lagi yang belum kumpul? Ayo, cepat! Cepat!”(*)

Banda Aceh, 2007

FERHAT. Anggota Forum Lingkar Pena (FLP) Aceh.
Antologi cerpen FLP Aceh Bintang di Langit Baiturrahman (2006),
15 cerpen terbaik lomba cerpen Dokarim se-Nanggroe Aceh Darussalam (2006), Antologi cerpen terbaik Aceh Meusyen (2006), dan beberapa puisi di muat di media lokal.

Read Full Post »

Older Posts »